Hari Film Nasional
Perfilman Indonesia diawali dengan hadirnya bioskop pertama pada 5 Desember 1900 di daerah Tanah Abang, Batavia dengan nama Gambar Idoep yang menanpilkan film bisu.
Film pertama yang pertama kali dibuat di Indonesia adalah
film bisu berjudul Loetoeng Kasaroeng pada tahun 1926 dibuat oleh sutradara
Belanda G. Kruger dan L. Heuveldorp. Saat film dirilis Indonesia belum ada dan
masih wilayah jajahan kerajaan Belanda, Hindia Belanda. Film tersebut muncul
pertama kali di teater Elite and Majestic, Bandung.
Baru pada tahun 1931, pembuat film lokal mulai membuat film
bicara. Percobaan pertamanya adalah Boenga Roos dari Tcikembang (1931)
dilakukan oleh The Teng Chun yang hasilnya masih buruk.
Periode Jepang di Indonesia menjadikan produksi film sebagai
alat propaganda. Pemutaran film di bioskop dibatasi untuk penampilan film
propaganda Jepang dan film Indonesia yang telah beredar sebelumnya. Pada 1942,
Perusahaan film Jepang yang beroperasi
di Indonesia Nippon Eigha Sha hanya dapat memproduksi 3 film yaitu Pulo Inten,
Bunga Semboja dan 1001 Malam.
Lenyapnya usaha swasta di bidang film dan sedikit produksi
yang dihasilkan studio yang dipimpin jepang mempersempit ruang gerak dan
kesempatan para artis serta pembentukan bintang baru hampir tidak ada. Satu –
satunya jalan keluarnya adalah naik ke panggung sandiwara, rombongan sandiwara
profesional pada zaman itu antara lain Bintang Surabay, Pancawarna, dan Cahaya
Timur. Kumpulan sandiwara amatir Maya didirikan berisi seniman-seniwati
terpelajar di bawah pimpinan Usmar Ismail yang kelak menjadi Bapak Perfilman
Nasional.
Tanggal 30 Maret di tetapkan jadi Hari Film Nasional karena
bertepatan dengan pengambilan gambar film Darah & Doa atau Long March of
Siliwangi yang disutradarai Usmar Ismail, film ini dinilai film lokal yang
bercirikan Indonesia. Selain itu film ini merupakan
Hari Film Nasional
Reviewed by rifqy
on
March 30, 2018
Rating:
No comments